Copy Link
Add to Bookmark
Report
Echo Magazine Issue 22 Phile 0x002
_| _|
_|_| _|_|_| _|_|_| _|_| _|_|_|_| _|_|_| _|_|
_|_|_|_| _| _| _| _| _| _| _| _| _| _|_|_|_|
_| _| _| _| _| _| _| _| _| _| _|
_|_|_| _|_|_| _| _| _|_| _|_|_|_| _| _| _| _|_|_|
ECHO MAGAZINE VOLUME VIII, ISSUE XXII, PHILE 0x002.TXT
Pseudo-random: Signing-off - Anonymous
anonymous/at/echo/dot/or/dot/id
"Ini negara bodoh yang sangat aku bela" - Koil
Pernahkah Anda berpikir jika saat ini Anda tidak punya account Yahoo,
Gmail, Facebook atau Twitter? Besar kemungkinan Anda pasti akan
diolok-olok oleh teman-teman dan mungkin Anda langsung dicap sebagai orang
yang "gak gaul" atau "gak intelek".
Sebuah materi menarik dibuat oleh Bambang Nurcahyo Prastowo mengenai isu
seputar pengelolaan dan distribusi informasi secara digital[1]. Dalam
tulisannya, Bambang menjelaskan bahwa penggunaan infrastruktur asing
mendominasi peran pengelolaan dan distribusi informasi, ia juga memaparkan
sejumlah alasan mengapa hal itu dapat terjadi. Hal yang paling menarik
bagi saya dari tulisan tersebut adalah ketika Bambang mengemukakan alasan
yang berhubungan dengan "kepercayaan pada integritas administrator
sistem". Menurutnya, banyak pengguna merasa lebih aman memanfaatkan sistem
yang dikelola pengusaha dari negeri lain daripada negeri sendiri. Selain
itu, hal lain yang mempengaruhi pengguna untuk lebih memilih infrastruktur
dari luar negeri antara lain adalah permasalahan teknis seperti virus dan
spam, biaya komunikasi data dan perilaku pengguna.
Saya sempat mendapatkan impresi yang kurang lebih sama ketika di tahun
2003, sejumlah relawan TI Indonesia, atas prakarsa Onno W Purbo,
bergotong-royong untuk "melokalkan" konten digital dengan cara membuat
server mailing-list lokal yang diberinama groups.or.id. Ternyata benar,
proyek idealisme groups.or.id tidak bertahan lama. Sungguh sangat
disayangkan.
Terdapat kecenderungan bagi kita untuk meyakini apa yang datang dari luar
negeri adalah hal yang baik, mungkin dianggap lebih baik dari apa yang
sudah kita miliki saat ini, sebagai contoh sejumlah hal yang berhubungan
dengan seni dan budaya seperti corak pakaian, tarian, lagu, dan lain
sebagainya. Hal tersebut juga terjadi dibidang TI, contohnya seminar atau
konferensi yang mengundang pembicara dari luar negeri hampir dapat
dipastikan tempat duduknya akan terisi penuh, atau suatu perusahaan yang
mempekerjakan tenaga asing sebagai konsultan akan dianggap sebaga yang
"maha tahu".
Pengaruh asing mungkin adalah istilah yang tepat untuk digunakan dalam
bahasan ini. Opini terpecah ketika kita harus menyikapi peran dan pengaruh
asing dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang bisa menyikapi dengan
bijaksana, ada yang menentang dan ada yang memuja-muja. Hal ini sebenarnya
tidak hanya terjadi di Indonesia atau spesifik pada bidang TI saja.
Berdasarkan pengamatan saya, saat ini cukup banyak aktivis-aktivis TI dan
apa yang sudah mereka lakukan dapat dikatakan sudah mendunia. Indonesia
sudah mulai masuk kedalam peta persaingan teknologi dan bisnis. Koprol,
sebagai contoh, baru saja diakuisisi oleh Yahoo. Koprol yang murni
dikembangkan oleh tenaga lokal adalah contoh nyata bahwa sumberdaya dari
Indonesia tidak kalah bersaing dengan dunia.
Beberapa waktu yang lalu ketika saya membaca beberapa resume dari sejumlah
"hacker lokal", saya cukup berbangga-hati untuk mengetahui bahwa banyak
dari mereka rajin untuk membuat security advisory. Walaupun kebanyakan
dari celah keamanan yang dipublikasikan berhubungan dengan teknologi
web seperti SQL Injection, XSS, LFI dan RFI, namun hal tersebut tidak
mengurangi kekaguman saya. Saya berusaha menghargai usaha seseorang,
walaupun yang dilakukannya adalah hal yang kecil. Salut untuk mereka yang
sudah melakukan hal tersebut. Saya sangat berharap akan semakin banyak
kontribusi-kontribusi seperti itu diwaktu mendatang.
Yang ingin saya sampaikan di sini adalah sumberdaya manusia Indonesia di
bidang TI sudah sangat bersaing di dunia. Sehingga mungkin suatu hari kita
tidak perlu jauh-jauh mendatangkan tenaga ahli karena ternyata cukup
banyak sumberdaya lokal yang tersedia dan dapat dihandalkan.
Setelah 5 tahun saya turut serta dalam meyiapkan ezine ini, saya berpikir
mungkin sudah waktunya saya "laidback" dan memberikan kesempatan yang
lebih muda dan lebih enerjik untuk turut mengelola ezine ini. Saya tidak
akan "menghilang" dan tetap akan terus berada di sekitaran. Komitmen saya
di tempat lain membuat saya sulit untuk membagi waktu dan seringkali
membuat keterlambatan dalam proses rilis. Saya yakin dirilis berikutnya,
warna perubahan akan lebih terasa, dan tentunya akan lebih baik dari yang
sudah ada saat ini.
Au revoir!
anonymous
Referensi:
[1] Bambang Nurcahyo Prastowo, "Menyelamatkan Aset Digital Milik Bangsa",
http://bit.ly/dquMck