Copy Link
Add to Bookmark
Report
Echo Magazine Issue 20 Phile 0x002
o.OOoOoo o OoooOOoO
O O o o
o o O
ooOO O o
O .oOo OoOo. .oOo. O O 'OoOo. .oOo.
o O o o O o o o o O OooO'
O o o O o O O O O o O
ooOooOoO `OoO' O o `OoO' OOooOooO o' o O `OoO'
Echo Magazine Volume VII, Issue XX, Phile 0x02.txt
]=========[[The Underground Scene Is Dead.]]=========o
Brought To You By : anonymous
anonymous [[AT]] echo.or.id
Ketika saya diminta untuk menulis artikel ini, sejujurnya saya bingung mau
menulis apa. Lalu saya bertanya kepada y3dips, isu apa yang sekiranya menarik
akhir-akhir ini. Saya mendapat jawaban, underground scene di Indonesia sudah
mati.
Dunia keamanan informasi memang tidak lagi seperti dulu. Tidak ada lagi hal-hal
yang menarik. Tidak ada lagi tantangan. Tidak banyak hacker konsisten dengan
aktivitasnya. Terlalu banyak geng hacking yang tidak jelas konsep dan tujuannya.
Apakah ini tanda bahwa generasi yang seharusnya menjadi penerus melihat bahwa
hacking adalah aktivitas yang buang-buang waktu saja? Atau berpikir bahwa
hacking identik dengan aktivitas kejahatan? Atau... mungkin malah berpikir
bahwa hacking itu adalah hal yang mudah yang dapat dipelajari dengan seminggu
kursus dan kemudian akan mendapat gelar Certified Ethical Hacker?
Mungkinkah karena tidak ada lagi hal yang membuat seseorang menjadi tertantang
untuk melakukan eksplorasi? Inikah hasil dari kemudahan konsep framework dan
object-oriented programming?
Dulu, ketika saya mulai terjun ke dunia keamanan informasi, saya harus
meraba-raba dalam kegelapan. Saya harus merelakan tagihan telepon rumah
bengkak agar bisa mengakses Internet. Saya harus rela untuk bersabar mendapatkan
account dial-up curian. Saya harus rela untuk digigit nyamuk demi untuk
mengakses Internet mencantol akses ke jaringan telepon kartu. Hal yang saya
alami, juga dialami oleh sebagian besar hacker di jaman itu.
Sekarang, hampir semua orang yang berada di kota-kota besar di Indonesia
berkesempatan untuk mengakses Internet dengan mudahnya. Dial-up sepertinya
adalah teknologi yang hanya diingat oleh sebagian kecil orang saja. Wireless
mendominasi infrastruktur jaringan. Tidak hanya itu, website yang memberikan
informasi bagaimana melakukan penyusupan ke dalam jaringanpun cukup banyak
jumlahnya.
Dulu, untuk dapat mengetahui informasi mengenai suatu sistem, saya dan
rekan-rekan harus berburu mendapatkan manual yang tidak tersedia bebas.
Beberapa diantaranya harus melakukan reverse engineering. Komunitas menjadi
tempat kami untuk bertukar pikiran baik menggunakan media BBS, mailing-list,
ICB*, maupun IRC.
Sekarang, hampir sebagian komunitas yang menggunakan mailing list maupun web
forum selalu dipenuhi dengan pertanyaan yang sebenarnya dapat dengan mudah
diperoleh jawabannya dengan lima menit googling. Karena tidak mendapatkan
jawaban, sang pemula biasanya akan putus asa dan kemudian meninggalkan
komunitas tersebut. Selain itu, "penghuni lama" komunitas tersebut juga menjadi
bosan meladeni pertanyaan-pertanyaan dari para pemula, dan akhirnya juga
meninggalkan komunitas tersebut.
Belum lagi masalah bagi hacker-hacker yang saat ini sudah mapan. Banyak dari
mereka yang sulit untuk meluangkan waktu. Bagi mereka, tugas kantor dan keluarga
adalah hal-hal yang paling penting dalam hidup. Sehingga, sepertinya ada banyak
orang yang tergabung dalam komunitas keamanan informasi atau hacking lebih
karena tuntutan pekerjaan dan bukan karena rasa penasaran atas suatu sistem
atau jaringan.
Jadi, benarkah underground scene di Indonesia sudah mati?
Saya melihat underground scene di negeri ini tidaklah mati namun berubah bentuk.
Berubah bentuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Jika dulu dikenal sebagai
underground, maka saat ini lebih dikenal sebagai mainstream.
We are heroes and just don't die easily!
*) Saya tidak yakin apa ada banyak orang yang masih mengingat atau pernah
menggunakan protokol ini.
Echo Magazine Volume VII, Issue XX, Phile 0x02.txt